Oleh : Doni Miseri Cordias Domini

Mahasiswa Universitas Palangka Raya

“Ela buli manggetu hinting bunu panjang, isen mulang manetes rantai kamera ambu”.

Filosofi semangat perjuangan Suku Dayak inilah yang memantik dan menggugah saya dalam berjuang memutuskan rantai kebodohan sebagai ”badai” bagi para masyarakat terkhususnya pemuda di Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila, Kalimantan Tengah.

Berkeliling dari desa ke desa di Kalimantan Tengah, menyaksikan hamparan hutan, dan aliran sungai yang membelah gambut, seringkali memunculkan pertanyaan yang mengusik, mengapa tanah yang begitu kaya raya ini belum mampu melahirkan generasi yang tangguh dalam berpikir dan berinovasi?. Sebagai pemuda yang lahir dari Bumi Handep Hapakat, Kabupaten Pulang Pisau yaitu Desa Gohong dan besar di Kota Cantik, Kota Palangka Raya, Mahasiswa Ilmu Administrasi Negara dan aktif dalam bidang kepemimpinan dan pemberdayaan pemuda, saya melihat sebuah isu krusial yang menjadi akar dari banyak persoalan pembangunan; rendahnya tingkat pendidikan formal, lemahnya sense of curiosity, minimnya sense of competitiveness, yang akhirnya mematikan inovasi dan menjauhkan kita dari daya saing nasional.

Data berbicara nyaring. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kalteng tahun 2024 masih berada di peringkat ke-19 dari 38 provinsi di Indonesia (BPS, 2024). Rata-rata lama sekolah penduduk hanya sekitar 8,81 tahun, jauh di bawah rata-rata IPM Nasional. Dan Indeks Pembangunan Pemuda (IPP) di Kalimantan Tengah berada di peringkat ke-32 dari 34 Provinsi se-Indonesia (KEMENPORA, 2023) Angka ini bukan sekadar statistik; ia menggambarkan realitas di mana banyak pemuda kita hanya mengenyam pendidikan dasar. Namun, masalahnya lebih dalam dari sekadar angka partisipasi sekolah. Kualitas proses belajar dan outputnya yang menjadi persoalan inti.

Akibatnya, kita menghadapi “kemiskinan pikiran” yang termanifestasi dalam beberapa gejala khas; rasa ingin tahu yang rendah, budaya pembelajaran seringkali pasif dan instruksional. Pemuda kurang didorong untuk bertanya “mengapa” dan “bagaimana jika”. Lingkungan sosial yang cenderung konformis dan menghindari konflik tidak membiasakan pemuda untuk berpikir kritis dan mengeksplorasi hal baru. Keterbatasan akses buku, media pembelajaran dan jurnal berkualitas, dan interaksi dengan ide-ide segar di pedesaan semakin memupuk keengganan untuk menjelajah di luar zona nyaman. Rasa ingin tahu, bahan bakar utama inovasi, redup sebelum sempat menyala. Kemudian, semangat bersaing yang rendah, rendahnya rasa ingin tahu berbanding lurus dengan lemahnya motivasi untuk unggul. Budaya “cukup” (enough mentality) dan ketakutan akan kegagalan seringkali lebih kuat daripada keinginan untuk mencapai yang terbaik. Minimnya paparan terhadap kompetisi sehat (baik akademik, olahraga, seni, maupun kewirausahaan) di tingkat lokal membuat pemuda kurang terlatih untuk menghadapi persaingan yang lebih ketat di tingkat regional maupun nasional. Mereka lebih nyaman berada di posisi aman daripada mencoba menjadi yang terdepan. Dan di saat ini, inovasi yang kurang beragam, kombinasi pendidikan yang kurang menantang, rasa ingin tahu yang rendah, dan semangat bersaing yang lesu adalah resep pasti untuk stagnasi inovasi.

Pemuda Kalimantan Tengah jarang menjadi trendsetter atau pencipta solusi baru, baik dalam teknologi, bisnis, maupun pengelolaan sumber daya lokal. Produk-produk lokal seringkali kurang berkembang karena minimnya sentuhan inovasi dalam desain, pemasaran, atau proses produksi. Kita cenderung menjadi konsumen dan pengekor, bukan pencipta dan pemimpin. Selanjutnya, daya saing yang tertinggal, hasil akhir dari rantai masalah ini adalah rendahnya daya saing pemuda Kalimantan Tengah di kancah nasional. Saat bersaing untuk beasiswa bergengsi, magang di perusahaan besar, atau bahkan lapangan kerja berpenghasilan tinggi, pemuda kita seringkali kalah bersaing dengan rekan-rekannya dari daerah lain yang memiliki bekal pendidikan lebih baik, pola pikir lebih kritis, dan mentalitas lebih kompetitif. Kekayaan alam kita di Kalimantan Tengah tak mampu dikapitalisasi oleh sumber daya manusia pemuda yang mampu bersaing secara cerdas dan kreatif.

Lantas, bagaimana kita membalikkan keadaan? Bagaimana membangunkan gairah intelektual dan semangat juang pemuda Kalimantan Tengah?

Sudah saatnya kita pemuda Kalimantan Tengah, merebut masa depan Kalimantan Tengah itu sendiri, dengan memulai mengubah mindset dan mentality dari konsumen ide menjadi produsen solusi melalui program pemberdayaan yang saya akan saya kembangkan, yaitu ”Sorak Pemuda Indonesia” yang akan mengakselerasi kualitas dan kuantitas sumber daya manusia pemuda di Kalimantan Tengah, dengan penjabaran program sebagai berikut; Pertama, “Sekolah Alam” dan “Live In” dengan cara mengintegrasikan pembelajaran dengan lingkungan sekitar. Ajak siswa memetakan potensi desa, wawancara pelaku usaha, berkunjung ke industri lokal, dan memecahkan masalah komunitas. Libatkan praktisi sebagai mentor. Kedua, “Jagau Nyai Bertanya” platform dengan membuat platform digital seperti media sosial atau website yang menyajikan konten menarik tentang sains, teknologi, kewirausahaan, dan budaya Kalteng secara interaktif. Adakan sesi “Tanya Pakar” online, tantangan bulanan, dan liputan tentang inovator muda lokal. Ketiga, Perpustakaan Desa/Keliling & Science Center Mini, yaitu transformasi perpustakaan desa menjadi ruang baca dan diskusi yang nyaman. Luncurkan mobil perpustakaan dan science corner keliling yang membawa buku, alat peraga sains sederhana, dan permainan edukatif ke pelosok. Keempat, Pertukaran Pemuda & “Kampus Mengajar Plus” dengan memperbanyak program pertukaran pelajar/mahasiswa Kalimantan Tengah dengan daerah lain atau luar negeri. Tingkatkan program seperti Kampus Mengajar dengan fokus tidak hanya mengajar, tapi juga membawa metode pembelajaran aktif dan proyek inovasi kecil ke sekolah sasaran. Kelima, “Arena Kompetisi” di setiap bidang dengan menggalakkan kompetisi sehat di segala bidang seperti olahraga, debat bahasa, coding, desain produk, konten kreatif, wirausaha sosial. Beri apresiasi tinggi bagi pemenang dan partisipan.

Tentunya Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah juga harus berkolaborasi bersama stakeholder terkait, dalam mengubah narasi dan menciptkan role model dalam mengakselerasi peran pemuda di Kalimantan Tengah dengan cara, pertama, Kampanye “Penasaran Itu Keren” yaitu dengan menggunakan media lokal seperti radio komunitas, koran, media sosial untuk kampanye yang menormalisasi rasa ingin tahu, kegagalan sebagai proses belajar, dan semangat kompetisi positif. Soroti kisah sukses anak muda Kalimanta Tengah yang berprestasi karena keingintahuannya dan daya saingnya (bukan hanya karena koneksi). Kedua, “Innovator Kalteng Talks” seperti menghadirkan secara rutin (offline dan online) para inovator, peneliti, wirausaha sukses, dan profesional asli Kalimantan Tengah untuk berbagi cerita, tantangan, dan strategi mereka. Jadikan mereka inspirasi yang dekat dan nyata. Ketiga, mengintegrasi Nilai inovasi & kompetisi dalam budaya dengan mengajak tokoh adat, agama, dan masyarakat untuk mendorong nilai-nilai belajar sepanjang hayat, pentingnya bertanya, dan semangat untuk menjadi yang terbaik dalam kebaikan.

Isu rendahnya pendidikan, rasa ingin tahu, semangat bersaing, dan inovasi bukanlah takdir bagi pemuda Kalimantan Tengah. Ini adalah tantangan yang harus kita jawab dengan terobosan dan komitmen kolektif. Kita tidak lagi bisa hanya mengandalkan kekayaan alam yang suatu hari bisa habis. Modal terbesar masa depan adalah pikiran yang kritis, rasa ingin tahu yang membara, dan semangat untuk unggul dari generasi muda. Revolusi pendidikan dan transformasi budaya belajar ini membutuhkan keberanian untuk keluar dari zona nyaman. Pemerintah daerah, dunia pendidikan, dunia usaha, komunitas, keluarga, dan terutama kita pemuda sendiri, harus bersatu padu meniupkan api semangat baru. Mari ganti budaya “ikut-ikutan” dengan budaya “memimpin inovasi”. Hanya dengan begitu, pemuda Kalimantan Tengah tak lagi sekadar penonton di pentas nasional, tetapi menjadi pemain utama yang menentukan masa depan negeri ini, dimulai dari tanah kelahirannya sendiri. Kita bukan hanya pewaris kekayaan alam, tapi juga pencipta kekayaan intelektual baru untuk Kalimantan Tengah.