Oleh : Kadafi Rumin
Sejak tahun 1980-an, sungai-sungai besar di Kalimantan Tengah Kahayan, Katingan, Kapuas, dan Barito telah menjadi urat nadi kehidupan bagi ribuan masyarakat Dayak. Namun, aliran air yang dulunya hanya mengalirkan air kini juga mengalirkan harapan dan dilema. Penambangan emas tanpa izin (PETI), atau yang lebih akrab disebut “mendulang emas”, telah menjadi salah satu sumber penghidupan utama bagi masyarakat di pedalaman. Aktivitas ini berkembang pesat setelah harga karet anjlok drastis sejak tahun 2012, memaksa banyak warga untuk mencari alternatif pendapatan demi menyambung hidup.
Secara sosial dan ekonomi, PETI telah menjadi tulang punggung bagi banyak keluarga. Bagi mereka, ini bukan sekadar aktivitas ekonomi ilegal, melainkan sebuah perjuangan untuk bertahan hidup. Emas yang mereka dapatkan dari sungai telah berhasil menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang perguruan tinggi. Sebuah data yang mencengangkan menunjukkan bahwa ada ribuan mahasiswa yang biaya pendidikannya berasal dari hasil PETI. Emas dari sungai ini telah melahirkan generasi baru yang lebih terdidik, memberikan mereka peluang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Namun, di balik narasi keberlanjutan ekonomi, terdapat kenyataan pahit yang menggerogoti lingkungan. Praktik PETI menggunakan merkuri bahan kimia beracun yang sangat berbahayauntuk memisahkan emas dari pasir. Penggunaan merkuri secara masif dan tidak terkontrol menyebabkan pencemaran air sungai yang parah. Sungai yang dulunya menjadi sumber air minum dan tempat mandi kini telah tercemar, membahayakan kesehatan masyarakat yang bergantung padanya. Di samping itu, aktivitas pengerukan dasar sungai menggunakan mesin dompeng menyebabkan pendangkalan yang semakin parah setiap tahunnya, meningkatkan risiko banjir dan mengganggu ekosistem sungai.
Dilema ini menciptakan sebuah simpul yang sulit diurai oleh pemerintah. Di satu sisi, aparat kepolisian dan pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk menegakkan hukum dan melindungi lingkungan. PETI adalah aktivitas ilegal yang jelas melanggar undang-undang lingkungan hidup. Namun, di sisi lain, menghentikan aktivitas ini secara paksa akan menciptakan masalah sosial yang lebih besar. Ribuan orang akan kehilangan mata pencaharian mereka dan terancam kelaparan. Apa yang akan terjadi pada ribuan mahasiswa yang kini bergantung pada PETI untuk biaya kuliah mereka?
Solusi yang ditawarkan sejauh ini terkesan buntu. Pemerintah kesulitan memberikan alternatif pekerjaan yang sepadan dengan penghasilan dari PETI. Program pertanian atau perkebunan skala kecil sering kali tidak mampu menyaingi daya tarik emas yang memberikan pendapatan instan. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah harus melangkah keluar dari pola pikir represif dan mulai berpikir kreatif.
Pertama, pemerintah perlu mendekati masalah ini dari sudut pandang sosial dan ekonomi, bukan hanya hukum. Pemerintah perlu mengakui bahwa PETI adalah manifestasi dari kegagalan sistem ekonomi dan pembangunan di pedalaman. Alih-alih hanya melakukan penindakan hukum, pemerintah perlu berdialog dengan masyarakat untuk memahami akar masalahnya.
Kedua, penting untuk menciptakan lapangan kerja alternatif yang menjanjikan. Ini bisa berupa pengembangan potensi ekonomi lokal lainnya yang berkelanjutan, seperti pertanian modern, budidaya perikanan, atau bahkan ekowisata yang berbasis pada kekayaan alam dan budaya Dayak. Pemerintah dapat memberikan pelatihan dan modal awal untuk mendorong transisi ini. Program-program ini harus dirancang agar relevan dengan kebutuhan dan keterampilan masyarakat setempat.
Ketiga, pendidikan dan sosialisasi tentang bahaya merkuri harus digalakkan secara masif. Pemerintah bisa bekerja sama dengan tokoh masyarakat, pemuka adat, dan lembaga swadaya masyarakat untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang dampak buruk merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan. Selain itu, pemerintah dapat memperkenalkan teknologi penambangan emas yang lebih ramah lingkungan, meskipun hal ini mungkin memerlukan investasi awal yang besar.
Penambangan emas ilegal di Kalimantan Tengah adalah masalah kompleks yang membutuhkan solusi holistik. Ini bukan sekadar tentang penegakan hukum, tetapi tentang keberlanjutan hidup, martabat, dan hak masyarakat Dayak untuk memiliki kehidupan yang layak. Pemerintah tidak bisa hanya menutup mata dan berpura-pura bahwa masalah ini akan hilang dengan sendirinya. Sudah saatnya untuk mengurai simpul buntu ini dengan pendekatan yang manusiawi, adil, dan berkelanjutan. Jika tidak, sungai-sungai yang menjadi saksi bisu perjuangan hidup mereka akan terus terancam, dan dilema ini akan terus berlanjut tanpa akhir yang jelas.
Tinggalkan Balasan